Hanya ada dua hal yang
pasti didunia ini yakni : Kematian dan Pajak. Di Indonesia, kewajiban membayar
pajak sudah diterima luas masyarakat. Dengan sosialisasi yang baik, pendataan
yang lengkap, pengaturan hukum yang tegas, dan penggunaan dana pajak yang benar
tidak dikorupsi seperti kasus Gayus Tambunan cs (boleh disebut), jumlah wajib
pajak (WP) yang saat ini baru sekitar 23 juta akan terus meningkat. Kontribusi
pajak terhadap pembangunan terus meningkat dan kini sekitar 70% pendapatan APBN
berasal dari pajak.
Pemerintah telah
menargetkan bahwa penerimaan pajak untuk tahun 2013 ini akan ditargetkan
sekitar Rp 1.200 triliun. Target ini merupakan target yang sulit dan tidak
mudah untuk dicapai. Pemerintah telah menyiapkan persiapan-persiapan dan
rencana-rencan untuk merealisasikan akan target tersebut dengan merencanakan
perluasan dan intensifikasi penerimaan pajak. Salah satu akan langkah terhadap
intensifikasi penerimaan pajak tersebut salah satunya adalah rencana “Pajak
Kekayaan”, khususnya pajak atas kepemilikan saham.
Yaah,, tentunya rencana
ini kalau diartikan dan disentil secara halus tentunya akan menyinggungkan
bagai sebuah rencana yang membunuh “angsa bertelur emas” tentunya dalam hal ini
adalah bagi pelaku dan pemilik kalangan pasar modal. Bukan telurnya yang
diambil, melainkan angsanya yang dibantai. Karena dengan alasan pemerintah
tidak mencapai target pada tahun sebelumnya, pemerintah berencana menghidupkan
kembali pajak yang sudah dihapus tahun 1983 karena bertentangan dengan filosofi
pajak dan kontraproduktif terhadap upaya perluasan basis pemodal lokal.
Sebenarnya kita tidak
patut menyalahkan pemerintah, dan tentunya tidak salah masyarakat menilai
pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kalap. Dengan hal alasan,
penerimaan pajak hingga pertengahan Desember 2012 sekitar Rp 794 triliun atau
90% dari target. Tahun lalu, 2011 terealisasi pajak juga dibawah target.
Pajak kekayaan
merupakan termasuk jenis pajak yang telah dihapus melalui UU No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan. Pajak Penghasilan (PPh)
dikenakan kepada setiap penambahan ekonomis. Yang dipajak bukan deposito,
melainkan bunga deposito. Yang dikenakan bukan nilai kapitalisasi saham,
melainkan capital gain. Jika capital gain tidak direalisasikan, pajak
tidak dikenakan.
Sungguh sangat tidak
adil jika yang menjadi objek PPh adalah capital again meski keuntungan itu
tidak direalisasikan. Jika pada saat harga saham melesat dikenakan PPh waktu si
pemilik tidak direalisasikan sebagian keuntungan, bagaimana saat harga saham
menurun dan si pemilik didera capital loss ? Hal ini yang membuat pemodal
geram.
Pemerintah mungkin
gemas melihat meningkatnya orang kaya atau mereka yang berkategori high net worth individual (HNWI).
Sebagian dari para HNWI
memiliki portofolio saham hingga triliunan rupiah. Pajak hanya dibayarkannya
saat menerima dividen dan merealisasikan capital gain. Pajak dividen tidak
signifikan. Sedang pajak capital gain tidak ada selama saham tidak dijual atau
keuntungan tidak direalisasikan.
Mengenai alasan
pemerintah dalam merencanakan pajak kekayaan salah satunya adalah dengan
praktik di sejumlah negara maju. Sebagai bagian dari ekonomi global, Indonesia
seharusnya sudah menerpkan pajak kekayaan atas saham. Sepintas, alasan ini merupakan
alasan yang kelihatan besar.
Jumlah wajib pajak (WP)
dinegara itu sudah optimal, pasar modal dinegara maju sudah matang. Sedangkan
berbicara Indonesia, jumlah WP masih kecil dan dari jumlah itu hanya sebagian yang
membayar pajak dengan benar serta pasar modal Indonesia baru bertumbuh.
Penerapan pajak kekayaan sungguh sangat menimbulkan potensi pajak berganda (double taxation) dan memicu pelarian
modal (capital flight), serta
kontraproduktif terhadap upaya pemerintah menggenjot investasi, terutama nvestasi
portofolio di pasar saham.
Kebijakan ini juga
menunjukkan DJP tidak kreatif menggali
sumber-sumber basis pajak baru melalui program ekstensifikasi. Data DJP
menunjukkan, WP pribadi hanya 20,8 juta, padahal jumlah kelas menengah dengan
pendapatan setahun di atas Rp 25 juta di atas batas pendapatan tidak kena pajak
sudah sekitar 50 juta, perusahaan menengah 50.000, dan perusahaan besar sekitar
5.000. tapim WP badan baru 2 juta lebih, ini yang mesti menjadi sasaran DJP.
Pengenaan PPh atas
kekayaan bisa saja menaikkan penerimaan pajak dalam jangka pendek, tapi dalam
jangka menengah dan panjang justru merugikan dengan alasan sebagai berikut :
Pertama,
pemegang saham pengendali akan menghambat kenaikan harga saham. Jika itu
terjadi, pemegang saham minoritas individu maupun lembaga seperti dana pensiun
dan asuransi akan kehilangan insentif untuk memperbanyak portofolio saham.
Kedua,
penerapan pajak kekayaan akan menghambat upaya perluasan basis pemodal lokal.
Saat ini, jumlah pemodal individu lokal baru sekitar 350.000. ditambah pemegang
unit reksadana, pemodal yang tercatat di Kustodian Sentral Efek Indonesia
(KSEI) masih kurang dari satu juta. Pasar saham yang tangguh hanya mungkin bisa
diarah jika investor lokalnya dominan.
Ketiga,
kebutuhan dana investasi tidak cukup dibiayai dengan dana APBN, perbankan, dan foreign direct investment (FDI). Pasar
modal menjadi menjadi alternatif sumber pendanaan yang sangat penting dan
kemajuan pasar modal sangat ditentukan oleh partisipasi pemodal lokal, lembaga
maupun individu. Masih banyak alternatif yang bisa diambil DJP untuk
mendongkrak penerimaan pajak dan menaikkan tax
ratio yang saat ini masih di bawah 12%. Semakin banyak orang berduit
membeli saham, semakin banyak perusahaan yang go public dan semakin mudah perusahaan terbuka mendapatkan dana
untuk mengembangkan usaha sehingga banyak tenaga kerja terserap. Dengan
pengembangan usaha dan laba yang meningkat, PPh badan akan membesar. Jika
perusahaan maju, pajak yang dibayar karyawan pun meningkat.
Janganlah pemerintah
membantai angsanya, melainkan cukup mengambil telur emasnya. Angsa perlu
dibesarkan dan diperbanyak agar semakin banyak telur emas yang bisa diambil.