AHLUSSUNNAH
WAL JAMA’AH -“ASWAJA”-
A.
Historisitas
Aswaja
1.
Aswaja
dalam Geo-sospol (Genealogi Sosial Politik) Global
Perjalanan Aswaja dalam
kurun waktu sejarah peradaban masyarakat Muslim tidak selamanya mulus. Meskipun
dirinya hadir sebagai pemahaman ke-Islam-an yang dianggap paling sesuai dengan
ajaran dan tuntunan Nabi serta para sahabat. Secara singkat, kita akan melihatnya
dalam tabel berikut, No Masa Periode Momen Sejarah :
Tahap Pertama
·
Abu Bakar, di
dalam wilayah kekuasaannya, Abu Bakar berhasil menyatukan umat Islam, setelah
menumpas gerakan Nabi palsu dan kaum murtad. Dalam hubungan ke luar,
penyerangan terhadap basis-basis penting Romawi dan Persia dimulai.
·
Umar Bin Khattab, tata
Pemerintahan di Madinah dibakukan berdasarkan asas syura – Persia berhasil
ditaklukkan – Romawi diusir dari tanah arab – terjadi pengkotakan antara Arab
dan non-Arab – wilayah Islam mencapai Cina dan Afrika Utara.
·
Utsman bin Affan, Al-quran
dikodifikasi dalam mushaf Utsmani – embrio perpecahan mulai tampak – pemerintahan
labil karena gejolak politik dan isu KKN – Armada maritim dibangun.
·
Ali bin Abi Thalib, perang
Jamal – Pemberontakan Mua’wiyah – arbitrase Shiffin memecah belah umat menjadi
tiga kelompok besar: Syi’ah, Khawarij, Murjiah – Abdullah bin Umar mengkonsolidir
gerakan awal Aswaja yang tidak memihak kepada pihak manapun dan lebih
memusatkan perhatian pada penyelamatan sunnah – Akhir dari sistem Syura.
Tahap Kedua
·
Kemajuan Islam Bani Umayyah, Meneruskan
Kekhalifahan sebagai lembaga politik. Abdullah bin Umar berkoalisi dengan
penguasa bani umayah. Kembalinya pemerintahan klan atau dinasti – Islam
mencapai Andalusia dan Asia tengah – madzhab-madzhab teologis bermunculan;
terutama Qadariyah, Jabariyah, Murjiah moderat, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan
Maturidiyah – Aswaja belum terkonsep secara baku (Abu Hanifah: sebagai pendiri
teologi Asy’ariyah). Embrio munculnya mazhab-mazhab.
·
Bani Abbasiyah, Mu’tazilah
menjadi ideology Negara – Mihnah dilancarkan terhadap beberapa Imam Aswaja,
termasuk Ahmad bin Hanbal – Fiqih dan Ushul Fiqih Aswaja disistematisasi oleh
al-Syafi’ie, teologi oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi, Sufi oleh al-Junaid dan
Al-Ghazali – Terjadi pertarungan antara doktrin aswaja dengan kalangan filosof
dan tasawuf falsafi – Kemajuan ilmu pengetahuan sebagai wujud dari dialektika
pemikiran – pembakuan mazhab-mazhab oleh para pengikutnya-Perang salib dimulai
– Kehancuaran Baghdad oleh Mongol menjadi awal menyebarnya umat beraliran
Aswaja sampai ke wilayah Nusantara.
·
Umayyah Spanyol, Aswaja
menjadi madzhab dominan – kemajuan ilmu pengetahuan menjadi awal kebangkitan
Eropa – Aswaja berdialektika dengan filsafat dalam pemikiran Ibnu Rusyd dan Ibnu
‘Arabi. Aswaja Runtuh spanyol ikut Eropa.
Tahap Ketiga
·
Kemunduran Islam Turki Utsmani, Aswaja
menjadi ideology negara dan sudah dianggap mapan – kesinambungan pemikiran
hanya terbatas pada syarah dan hasyiyah terhadap mazhab yang dipegangi
pengikutnya – ilmu keIslaman mengkrcut menjadi 3 yaitu fiqih, teologi, tasawuf-
sedangkan yang lainya hanya penopang seperti, ilmu bahasa, hadits & ulum
alqur’an. Romawi berhasil diruntuhkan – perang salib berakhir dengan kemenangan
umat Islam – kekuatan Syi’ah (Safawi) berhasil dilumpuhkan – Mughal berdiri
kokoh di India.
·
Kolonialisme Eropa, Masuknya
paham sekularisme – pusat peradaban mulai berpindah ke Eropa – Aswaja menjadi
basis perlawanan terhadap imperialisme – kekuatan-kekuatan umat Islam kembali
terkonsolidir.
Tahap Keempat
Kebangkitan
Islam Akhir Turki Utsmani
Lahirnya
Turki muda yang membawa misi restrukturisasi dan reinterpretasi Aswaja –
gerakan Wahabi lahir di Arabia – kekuatan Syi’ah terkonsolidir di Afrika utara
– Gagasan pan-Islamisme dicetuskan oleh al-Afghani – Abduh memperkenalkan
neo-Mu’tazilah – al-Ikhwan al-Muslimun muncul di Mesir sebagai perlawanan
terhadap Barat – Berakhirnya sistem kekhalifahan dan digantikan oleh
nasionalisme (nation-state) – Aswaja tidak lagi menjadi ideology Negara. Pasca PD
II Aswaja sebagai madzhab ke-Islam-an paling dominan – diikuti usaha-usaha
kontekstualisasi aswaja di negara-negara Muslim – lahirnya negara Muslim
Pakistan yang berhaluan aswaja – kekuatan Syi’ah menguasai Iran – lahirnya OKI
namun hanya bersifat simbolik belaka.
Catatan
ringan :
Sebagaimana dicatat
oleh para sejarawan muslim paling awal, bahwa terbunuhnya khalifah Utsman bin
Affan pada tahun 35 H, yang kemudian diikuti dengan pengangkatan Ali bin Abi
Thalib oleh mayoritas kaum muslimin, ternyata menimbulkan protes keras dari
Mu’awiyah Ibn Abu Sufyan, salah seorang gubernur Damaskus yang terhitung masih
kerabat Utsman. Protes kedua dilancarkan oleh “trio”, Aisyah, Thalhah dan
Zubair. Mereka menuduh Ali adalah orang yang paling bertanggungjawab atas tumpahnya
darah Ustman. Gerakan oposisi dua kelompok di atas pada gilirannya pecah
menjadi perang terbuka. Yang pertama pecah dalam perang siffin, sedangkan yang
kedua meledak dalam perang jamal.
Dalam perang siffin,
pasukan Mu’awiyah dalam kondisi terjepit. Dan, guna menghindarkan diri dari
kekalahan, mereka lantas mengajukan usulan agar pertempuran dihentikan dan
diselesaikan melalui jalur arbitrase (perundingan). Strategi ini ternyata
sangat menguntungkan posisi Mu’awiyah dan cukup efektif untuk memecah konsentrasi
pasukan Ali. Terbukti pasukan Ali kemudian terbagi menjadi dua kelompok, disatu
pihak setuju untuk menerima arbitrase (Syiah), sementara dipihak lainnya
menolak dan menginginkan agar pertempuran dilanjutkan sampai diketahui yang
menang dan yang kalah (Khawarij). Apalagi ketika diketahui bahwa dalam
arbitrase pihak Ali yang diwakili oleh Abu Musa Al-’Asy’ari secara “politis”
kalah dalam berdiplomasi melawan kubu Mu’awiyah yang diwakili oleh Amru bin
‘Ash, semakin mengeraskan tekad kelompok yang kontra perundingan untuk keluar
dari barisan Ali.
Berdasarkan deskripsi
historis tersebut dalam periode ini telah muncul partai; Ali (Syiah), Mu’awiyah
dan Khawarij. Munculnya sekte-sekte keagamaan yang lebih bernuansa politis
tersebut, akhirnya melahirkan trauma yang mendalam bagi sebagian umat Muslim.
Sikap trauma tersebut kemudian menjurus pada kenetralan, khususnya bagi warga
Madinah-yang dipelopori Abdullah bin Umar. Mereka mendalami al-qur’an dan
memperhatikan serta mempertahankan tradisi (al-Sunnah) penduduk madinah.
Sehingga dalam hal ijtihad agama kaum netralis ini bersatu dengan Syiah yang
terkenal sangat hati-hati dalam menjaga Sunnah. Namun dalam hal politik kaum
netralis melakukan oposisi diantara muawiyah dan syiah.
Namun kaum netralis ini
ternyata dalam perjalannya bergabung dengan Umayyah, meskipun juga sering
melakukan oposisi dengan rezim damaskus. Pada tahap inilah – proses penyatuan
golongan al-jamah (pendukung muawiyah) dengan al-sunnah (netralis madinah) –
yang kelak akan melahirkan golongan yang dinamakan Aswaja. Karena persoalan
inilah sehingga syiah keluar dari kaum netralis sebagai komitmen mereka untuk
tetep berpegang teguh terhadap Sunnah dan melakukan gerakan oposisi yang
melakukan perlawanan terhadap rezim Damaskus dan menganggap oportunis terhadap
kaum netralis.
Persoalan semakin kabur
manakala mencari identitas aswaja itu melalui wilayah teologi. Dilihat dari
aspek teologi paham aswaja dikonotasikan dengan Asy’ari dan Maturidi. Sedangkan
teologi mu’tazilah dan yang lainnya dipandang sebagai di luar paham aswaja.
Lebih jauh lagi, jika suatu identitas diukur berdasarkan sejauh mana
konsistensi mereka dalam memegang sendi-sendi fiqhiyah, maka sulit sekali untuk
mengatakan teologi mu’tazilah bukan teologi Aswaja. Mengapa? Tidak sulit untuk memberikan
argumen bahwa kebanyakan tokoh mu’tazilah adalah pengikut setia dari salah satu
mazhab fiqih, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Semisal Abu Jabar yang
dalam fiqhnya mengikuti Syafi’i. Data ini diperkuat lagi dengan fakta bahwa
para penguasa Abbasiyah mayoritas saat itu juga mengikuti salah satu mazhab
fiqh aswaja.
Asy’ari sendiri pada
mulanya adalah kader mu’tazilah, karena kekecewaannya terhadap posisi
mu’tazilah yang dianggap tidak relevan dengan perkembangan saat itu serta
dipandang telah menjadi kelompok akademisi teolog yang mengasingkan diri dari
tekanan dan ketegangan waktu, juga cenderung elitis. Pikiran-pikiran Yunani
yang dipergunakan sudah meyimpang jauh dari agama masyarakat awam, sehingga
sulit diterima masyarakat awam.
Ketegangan pemikiran
atau lebih tepatnya dialektika pemikiran jelas tidak mungkin dihindari. Namun
sejarah mencatat bahwa ketegangan yang lebih menjurus pada pertentangan justu
terjadi antara ahlul hadis (dipelopori Hambali dilanjutkan oleh Ibnu Taimiyah
selanjutnya oleh Abdul Wahab) dan ahli teolog (mu’tazilah, Asy’ariyah dan
maturidiyah). Bertolak dari argumen ini ada kemungkinan bahwa paham aswaja
teutama dalam lapangan teologi terjadi polarisasi. Di satu sisi mincul;
pemikran yang cenderung rasionalis, seperti mu’tazilah. Namun pada saat yang
sama muncul pemikiran yang ingin menyapu bersih kecendrungan rasionalistik.
Kelompok kedua sering dikonotasikan dengan teologi Asy’ari. Apapun pertentangan
yang muncul, kenyataan menunjukkan bahwa kelompok moderatlah yang lolos
seleksi. Akhirnya kelompok rasional terpaksa minggir sebelum kemudian redup dan
muncul lagi di era Muhammad Abduh (neo-mu’tazilah).
Kemudian teologi
Asy’ari ini dikembangkan oleh filusuf sekaligus sufistik al-Ghazali yang
cenderung kurang rasional dan tidak terlalu monolok terhadap hadis dengan
sikapnya yang sufi yang cenderung menggunakan rasa dalam menyikapi dialektika
keagamaan. Dan dari tangan hujjatul muslimin inilah paham-paham tersebut
menyebar ke se antero dunia sampai sekarang.
Berdasarkan historis
sederhana ini dapat tarik sebuah kesimpulan, bahwa secara garis besar pasca
terjadinya perang siffin umat muslim terpecah sehingga masing-masing membuat
madzhab yang pada akhirnya mazhab-mazhab ini dikembangkan, diformulasikan dan
dibakukan oleh para kader madzhab. Dengan pembakuan-pembakuan tersebutlah,
selanjutnya konsep Islam disandarkan. Adapun formulasi itu dibagi menjadi tiga
yaitu teologi, fiqih dan tasawuf. Sedangkan ilmu-ilmu yang lain dianggap
turunannya sehingga dalam wilayah metodologi selalu mengakar dan bisa
dikembalikan kepada ketiga ilmu tersebut terutama pada teologi.
2.
Aswaja
dalam Sejarah Nusantara (Ke-Indonesia-an)
Ada kesinambungan
antara alur GeoSosPol Aswaja dengan sejarah Islam di nusantara. Memang banyak
perdebatan tentang awal kedatangan Islam di Indonesia, ada yang berpendapat
abad ke-8, ke-11, dan ke-13 M. Namun yang pasti tonggak kehadiran Islam di
Indonesia sangat tergantung kepada dua hal. Pertama,
Kesultanan Pasai di Aceh yang berdiri sekitar abad ke-13. Kedua, Wali Sanga di Jawa yang mulai hadir pada akhir abad ke-15
bersamaan dengan runtuhnya Majapahit. Namun, dalam perkembangan Islam
selanjutnya yang lebih berpengaruh adalah Wali Sanga yang dakwah Islamnya tidak
hanya terbatas di wilayah Jawa saja tetapi menggurita ke seluruh pelosok
nusantara. Yang penting untuk dicatat pula, semua sejarahwan sepakat bahwa Wali
Sanga-lah yang dengan cukup brilian mengkontekskan Aswaja dengan kebudayaan
masyarakat Indonesia sehingga lahirlah Aswaja yang khas Indonesia, yang sampai
saat ini menjadi basis bagi golongan tradisionalis, termasuk PMII. Sebagaimana
termaktub dalam Qonun Asasi yang telah dirumuskan oleh Syaikh K.H. M. Hasyim
Asy’ari berdasarkan seleksi beliau terhadap mazhab-mazhab yang telah
diformulasikan pada zaman Abbasiyah. Yaitu; “Dalam ilmu aqidah/teologi
mengikuti salah satu dari Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Dalam syari’ah/fiqh mengikuti salah satu Imam empat: Abu Hanifah, Malik bin
Anas, Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam tashawuf/akhlaq
mengikuti salah satu dua Imam: Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali.”
No
Periode Momen Sejarah :
a.
Islam awal Pra-Wali Sanga.
Masyarakat Muslim
bercorak maritim-pedagang berbasis di wilayah pesisir – mendapat hak istimewa
dari kerajaan-kerajaan Hindu yang pengaruhnya semakin kecil – fleksibilitas
politik – dakwah dilancarkan kepada para elit penguasa setempat.
b.
Wali Sanga Konsolidasi kekuatan pedagang
muslim membentuk konsorsium bersama.
Membidani berdirinya
kerajaan Demak dengan egalitarianisme Aswaja sebagai dasar Negara – mazhab fiqh
mengkrucut syafi’i-sistem kasta secara bertahap dihapus – Islamisasi dengan
media kebudayaan – Tercipta asimilasi dan pembauran Islam dengan budaya lokal
bercorak Hindu-Budha – Usaha mengusir Portugis gagal.
c.
Pasca-Walisanga – Kolonialisme Eropa
Penyatuan Jawa oleh
Trenggana menyebabkan dikuasainya jalur laut Nusantara oleh Portugis, Kekuatan
Islam masuk ke pedalaman, kerajaan Mataram melahirkan corak baru Islam
Nusantara yang bersifat agraris-sinkretik, mulai terbentuknya struktur
masyarakat feodal yang berkelindan dengan struktur kolonial mengembalikan
struktur kasta dengan gaya baru, kekuatan tradisionalis terpecah belah, banyak
pesantren yang menjadi miniatur kerajaan feudal, kekuatan orisinil aswaja hadir
dalam bentuk perlawanan agama rakyat dan perjuangan menentang penjajahan. Arus
Pembaruan Islam muncul di Minangkabau melalui kaum Padri. Politik etis
melahirkan kalangan terpelajar pribumi, ide nasionalisme mengemuka. Kekuatan
Islam mulai terkonsolidir dalam Sarekat Islam (SI). Muhammadiyah berdiri
sebagai basis muslim modernis.
d.
Kelahiran NU
Komite Hijaz sebagai
embrio, kekuatan modernis dengan paham Wahabinya sebagai motivasi, SI tidak
lagi punya pengaruh besar, jaringan ulama’ tradisionalis dikonsolidir dengan
semangat meluruskan tuduhan tahayyul, bid’ah, dan khurafat, Qanun Asasi disusun
sebagai landasan organisasi NU, aswaja (tradisi) sebagai basis perlawanan
terhadap kolonialisme, fatwa jihad mewarnai revolusi kemerdekaan.
e.
NU_pra kemerdekaan NU sebagai salah
ORMAS Islam yang menerima Pancasila sebagai Dasar Negara. Dan menganggap
Indonesia sebagai dar sulh (Negara damai).
f.
NU_pasca kemerdekaan
NU memberi gelar
waliyul amri dharury kapada rezim Sukarno. NU menjadi partai politik, masuk
dalam aliansi Nasakom, PMII lahir sebagai underbouw di wilayah mahasiswa, di
barisan terdepan pemberantasan PKI, ikut membidani berdirinya orde baru,
ditelikung GOLKAR dan TNI pada pemilu 1971, Deklarasi Munarjati menandai
independennya PMII, NU bergabung dengan PPP pada pemilu 1977, tumbuhnya
kesadaaran akan penyimpangan terhadap Qanun Asasi dan perlunya khittah.
g.
NU pasca Khittah
NU kembali menjadi
organisasi kemasyarakatan, menerima Pancasila sebagai asas tunggal, menjadi
kekuatan utama civil society di Indonesia, posisi vis a vis Negara, bergabung
dalam aliansi nasional memulai reformasi menjatuhkan rezim orba.
h.
NU_pasca reformasi Berdirinya PKB sebagai
wadah politik nahdliyyin.
Gus Dur sebagai
presiden, NU mengalami kegamangan orientasi, kekuatan civil society mulai
goyah, PMII memulai tahap baru interdependensi. (Pasca Gusdur sampai sekarang,
kekuatan tradisionalis terkotak-kotak oleh kepentingan politis).
B.
Normatifitas
Aswaja dalam Pemahaman PMII
1.
Pergeseran
makna Aswaja
Dalam konteks
keindonesiaan jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ (NU) dan Ahlussunnah wal jama’ah
(Aswaja) ibarat dua sisi mata uang. Ketika menyebut NU dalam konsep kita akan
terbayang imam-imam besar sebagaimana dirumuskan oleh faunding father Hadratus
Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi . Yaitu : “Dalam ilmu
aqidah/teologi mengikuti salah satu dari Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur
al-Maturidi. Dalam syari’ah/fiqh mengikuti salah satu Imam empat: Abu Hanifah,
Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam tashawuf/akhlaq
mengikuti salah satu dua Imam: Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali.”
Ada dua pola pemahaman
kaum Muslimin terhadap Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Pertama, yang memahami
Aswaja identik dengan Islam dengan doktrin pemurnian (purifikasi) ajaran Islam.
Kedua, yang mamahami Aswaja sebagai “mazhab” saja. Baik pola pertama maupun
kedua masing-masing mampunyai kelemahan. Yang pertama seringkali mengklain
bahwa kebenaran hanya milik kelompoknya, sehingga kesan sektarianisme sulit
dihindarkan. Pada level praksisnya, pengkafiran (takfir) menjadi bagian tidak
terpisahkan dalam relasinya dengan non-muslim maupun dengan umat Islam tapi
yang tidak satu aliran sehingga bentuk kekerasan menjadi mudah dilakukan atas
dasar teks agama.
Pola mazhab juga mempunyai
kecenderungan untuk menjadi institusi, dan karenanya ia menjadi kaku (jumud),
karena mazhab mengandaikan kebakuan suatu pola ajaran, dan akhirnya itu semua
menjadi ajaran atau doktrin yang terbakukan. Di pola nomer dua inilah mayoritas
masyarakat NU memahaminya, bahkan rumusan definitif Aswaja tersebut dalam
perkembangannya hanya dipahami dalam konteks “berfikih” dan mengikuti apa saja
yang telah dihasilkan para ulama terdahulu (taklid). Lebih jauh, pada dataran
praksisnya Aswaja mengkrucut lagi menjadi mazhab fiqih syafi’i saja dan
menempatkan fiqih sebagai “kebenaran ortodoksi” yakni menundukkan realitas
dengan fikih. Menyadari realitas yang demikian itu, maka Aswaja haruslah
dipahami dan direfleksikan kembali ke dalam konteks aslinya, yang sesungguhnya
sangat kritis, eklektik dan analitis.
Memang tiga pola
panutan Qanun Asasi ini dalam prakteknya tidaklah sederhana dan cenderung
problematis. Apalagi ketika dirunut sejarah masing-masing ajaran disertai
dengan varian-varian pemikiran para pengikutnya, semakin jelas terjadi
kompeksitas gagasan bahkan terjadi pemilahan pada dua kutub yang saling
berseberangan. Realitas sejarah pemikiran beserta varian-varian mazhab yang
tersebut di atas, membawa kita untuk berkesimpulan bahwa Aswaja bukanlah sebuah
doktrin yang kaku, baku dan linear. Banyak sekali persoalan di dalamnya.
Sehingga dalam memahami Aswaja tidaklah cukup hanya pada produk pemikiran
(mazhab) atau perkataan (qauli yang terdokumentasi dalam karya-karya) dari para
mazhab-mazhab di atas, akan tetapi juga metode (manhaj) berpikir mereka dalam
menyusun pemikirannya yang disesuaikan dengan konteks yang mereka hadapi. Maka
qoul-qoul mazhab terutama dalam kajian fiqih yang sudah terbukukan jika dalam
konteks sekarang tidak relevan -bukan berarti salah- maka harus diinterpretasi
ulang dan mengembalikannya ke Al-qur’an dan sunnah. Kemudian dari teks agama
ini digali hukum-hukum baru dengan menggunakan metodologi imam mazhab tersebut
(mazhab minhaj). Agar sesuai dengan keadaan sosial sekarang.
Ada empat ciri yang
menonjol dalam memaknai aswaja sebagai mazhab minhaj ini. Pertama, fiqih
dihadirkan sebagai etika dan interpretasi sosial bukan sebagai hukum positif
mazhab. Kedua, dalam hal metodologi mazhab tersebut di dalamnya sudah mulai
diperkenalkan metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah sosial
budaya. Ketiga, verifikasi terhadap mana ajaran pokok (usul) dan mana cabang
(furu’). Keempat, selalu diupayakan interpretasi ulang dalam kajian teks-teks
fiqih untuk mencari konteksnya yang baru.
Dengan model bermazhab
seperti ini diharapkan dapat memberikan spirit baru untuk keluar dari
“tempurung sakral” masa lampau dan berani memunculkan pikiran-pikiran
eksprementatif sosial yang kreatif dan orisinil. Dalam konteks ini
kreasi-kreasi ulama masa lalu tetap tidak dinafikan dan diletakkan dalam
kerangka kooperatif, namun karya tersebut jangan sampai menjadi belenggu
pemikiran yang mematikan. Sehingga jalan masuk untuk melakukan terobosan baru
dalam setting tranformasi sosial, ekonomi politik maupun budaya menjadi lebar.
Peletakan fiqih seperti
ini memunculkan problem metodologis yang sangat besar karena mazhab yang dianut
masyarakat NU adalah mazhab Syafi’i. Kendati dalam Qonun Asasi mengakui adanya
empat mazhab, namun dalam wilayah praksisnya itu tidak secara otomatis
dilakukan secara eklektik karena ada rambu-rambu talfiq metodologi yang tidak
mudah ditembus. Meski demikian dikalangan para kiai sepuh yang notabennya
menguasai ilmu-ilmu agama metode ini sudah diterapkan. Hal ini bisa dlihat dari
adanya bahsul masa’il yang mencoba merumuskan pemikiran-pemikaran segar agar
selalu menyesuaikan zaman.
Dan seiring
berkembangnya zaman mazhab minhaj inipun dirasakan kurang menyentuh realitas.
Lagi-lagi, realitas harus dijustifikasi dengan metodologi agama yang sebatas
pada ketiga pola qanun asasi yaitu fiqih, teologi dan tasawuf, terutama dalam
aspek fiqihnya. Pemahaman seperti ini tidak memadai untuk dijadikan pijakan
gerak PMII. Sebab, pemahaman demikian cenderung menjadikan Aswaja sebagai
sesuatu yang dalam konsep metodologi menjadi beku dan tidak bisa diotak-atik
lagi. Pemaknaannya hanya dibatasi pada metodologi ulama klasik saja. karena
secanggih apapun metodologi, selalu tergantung pada waktu dan tempat (konteks)
yang dihadapinya. Padahal untuk menjadi dasar sebuah pergerakan, Aswaja harus
senantiasa fleksibel dan terbuka untuk ditafsir ulang dan disesuaikan dengan
konteks saat ini dan yang akan datang. Inilah yang dinamakan sebagai metodologi
yang terbuka. Oleh karena itu, lagi-lagi interpretasi ulang terhadap konsep
mazhab manhaj harus dilakukan.
Lebih jauh, implikasi
yang dihasilkan dalam tatanan pola fikir dan pranata sosial yang dihadirkan
dalam kehidupan orang-orang NU dianggap terlalu kaku sehingga kurang responsive
terhadap tantangan dan tuntuan perkembangan zaman. Khususnya dalam hal-hal yang
terkait dengan persoalan hudud, hak asasi manusia, hukum public, jender dan
pandangan dengan non-muslim. Meski manhaj madhab telah dilakukan tetapi tetap
saja rumusan Qonun Asasi khususnya fiqih tidak berani mendekati kecuali
ulama-ulama yang dianggap mumpuni.
Tegasnya, manhaz mazhab
yang bertumpu pada keilmuan fikih yang berimplikasi pada cara pandang dan
tatanan paranata sosial dalam masyarakat NU belum berani dan selalu menahan
diri untuk bersentuhan dan berdialog langsung dengan ilmu-ilmu baru yang muncul
pada abad ke-18 dan 19 di dataran Eropa yang notabennya non-muslim, seperti
antropologi, sosiologi, budaya, psikologi, filsafat dan lain sebagainya. Bahkan
dari yang sesama muslim yang dianggap tidak satu mazhab seperti, mu’tazilah
wahabi, syiah, khawarij, dll. maupun para pemikir Islam kiri seperti Hasan
Hanafi, Muhammad Abduh, Muhammad Arkun, Fazlurrahman, dll. masyarakat NU masih
sangat eksklusif.
Maka ketebukaan
terhadap kemungkinan kontak dan pertemuan langsung antara tradisi pemikiran
keilmuan Manhaj madhab dengan keilmuan kontemporer yang telah memanfaatkan
kerangka teori dan pendekatan yang digunakan oleh ilmu-ilmu sosial dan
humanistic harus lakukan. Sehingga terciptanya tatanan masyarakat yang
berdimensi kemanusian yang tidak melulu berporos pada fiqih yang cendrung
transdental an sich. Ketika pola ijtihad tersebut bertemu dan berdialog maka
teori, metode, dan pendekatan yang digunakan pun perlu dirubah. Jadi dalam
rumusan fiqih dan kaidah usul fiqh dilakukan infilterisasi yang ketat sejauh
mana ia sesuai dengan konteks zaman dan tidak bertentangan dengan paradigma
gerakan dan pembaharuan yang progresif.
2.
Aswaja
sebagai Manhajul Fikr dan Manhaj At-Taghayyur al-Ijtima’i
Dari sinilah maka
kemudian PMII juga memaknai Aswaja sebagai manhaj tagayyur al ijtima;i yaitu
pola perubahan yang berdimensi sosial-kemasyarakatan-kemanusiaan yang sesuai
dengan nafas perjuangan rasulullah yang dilanjutkan para sahabat penerusnya
sampai diera kontemporer. Yang mana metode ini tidak hanya tetumpu pada aspek
fiqih dan usul fikih saja, namun memodifikasikannya dengan keilmuan yang lain
baik itu datangnya dari para pemikir muslim ataupun non-muslim dengan tetap
mempertahankan dimensi historisitas dari keilmuan fiqih dan juga barang tentu
teologi dan tasawuf yang disusun beberapa abad tahun yang lalu untuk diajarkan
terus menerus pada era sekarang setelah permasalahan zaman terus berevolusi.
Kemudian, rangkaian
histories-empiris-fleksibilitas epistemologi dan metodologi yang sesuai situasi
politik dan sosial yang meliputi masyarakat muslim waktu itu., mulai dari
Rasulullah sampai manhaj at-taghayyur al-ijtima’I yang terbingkai dalam
landasan (al-tawassuth) netral/proporsional (al-Tawazun), keadilan (al-Ta’adul)
dan toleran (al-Tasamuh). itulah yang oleh PMII dimaknai Aswaja sebagai
manhajul fikr yaitu metode berpikir yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan
tabi’in yang sangat erat kaitannya dengan situasi politik dan sosial yang
meliputi masyarakat muslim waktu itu.
Dari manhajul fikr
inilah lahir pemikiran-pemikiran keIslaman baik di bidang aqidah, syari’ah,
maupun akhlaq/tasawuf, dan barang tentu juga ilmu-ilmu sosial humaniora
walaupun beraneka ragam tetap berada dalam satu ruh. Inti yang menjadi ruh dari
Aswaja baik sebagai manhajul fikr maupun manhaj taghayyur al-ijtima’i adalah
sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah : ma ana ‘alaihi wa ashabi (segala
sesuatu yang datang dari rasul dan para sahabatnya.
Jadi, Benang merah yang
bisa ditarik dari manhaj al-fikr para Imam dan pemikir tersebut adalah sebuah
metode berfikir yang “eklektik” (mencoba mencari titik temu dari sekian
perbedaan dengan pembacaan jeli, sampai melahirkan tawaran alternatif). Dan
posisi pemikiran mereka dalam dialektika pemikiran dan kuasa maknanya baik kebebasan
berpikir, berucap, bertindak/bersikap, berhubungan, barmasyarakat, berberbangsa
dan bernegara selalu terbingkai dalam landasan; (al-tawassuth)
netral/proporsional (al-Tawazun), keadilan (al-Ta’adul) amarma’ruf nahi munkar,
istiqamah dan toleran (al-Tasamuh).
Argumen ini kemudian
menjadi dasar pijak untuk tidak terlalu mempersoalkan apakah yang diadopsi itu
barasal dari epistemologi yang berlatang belakang sebagaimana Qonun Asasi atau
dari luar Qanun Asai tersebut, seperti mu’tazilah, khawarij, syiah dan
lain-lainnya. Bahkan barang tentu metode ilmu-ilmu sosial humanistic yang
datang dari barat. Yang dalam hal ini focus utamanya adalah sejauh mana
metodologi-metodologi itu dapat diimplementasikan secara nyata dan memberi
manfaat kapada umat manusia secara universal.
3.
Landasan
(bingkai) dan prinsip dasar Aswaja Dalam Arus Sejarah
a.
Tawassuth
Tawassuth bisa dimaknai
sebagai berdiri di tengah, moderat, tidak ekstrim (baik ke kanan maupun ke
kiri), tetapi memiliki sikap dan pendirian. Khairul umur awsathuha (moderat
adalah sebaik-baik perbuatan). Tawassuth merupakan landasan dan bingkai yang
mengatur bagaimana seharusnya kita mengarahkan pemikiran kita agar tidak
terjebak pada pemikiran agama an sich. Dengan cara menggali&meelaborasi
dari berbagai metodologi dari berbagai disiplin ilmu baik dari Islam maupun
barat. Serta mendialogkan agama, filsafat dan sains.
b.
Tasamuh
Tasamuh adalah toleran,
tepa selira. Sebuah landasan dan bingkai yang menghargai perbedaan, tidak
memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagaimana
kita harus bersikap dalam hidup sehari-hari, khususnya dalam kehidupan beragama
dan bermasyarakat. Tujuan akhirnya adalah kesadaran akan pluralisme atau
keragaman, yang saling melengkapi bukan membawa kepada perpecahan. Dalam kehidupan
beragama, tasamuh direalisasikan dalam bentuk menghormati keyakinan dan
kepercayaan umat beragama lain dan tidak memaksa mereka untuk mengikuti
keyakinan dan kepercayaan kita.
Dalam kehidupan
bermasyarakat, tasamuh mewujud dalam perbuatan-perbuatan demokratis yang tidak
mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama. Dan setiap usaha
bersama itu ditujukan untuk menciptakan stabilitas masyarakat yang dipenuhi
oleh kerukunan, sikap saling menghargai, dan hormat-menghormati. Di berbagai
wilayah, tasamuh juga hadir sebagai usaha menjadikan perbedaan Agama, Negara,
ras, suku, adat istiadat, dan bahasa sebagai élan dinamis bagi perubahan
masyarakat ke arah yang lebih baik. Perbedaan itu berhasil direkatkan oleh
sebuah cita-cita bersama untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan, keanekaragaman
saling melengkapi Unity in diversity.
c.
Tawazun
Tawazun berarti
keseimbangan dalam bergaul dan berhubungan, baik yang bersifat antar individu,
antar struktur sosial, antara Negara dan rakyatnya, maupun antara manusia dan
alam. Keseimbangan di sini adalah bentuk hubungan yang tidak berat sebelah
(menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain). Tetapi,
masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai dengan fungsinya tanpa
mengganggu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang diharapkan adalah
terciptanya kedinamisan hidup.
d.
Ta’adul
Yang
dimaksud dengan ta’adul adalah keadilan, yang merupakan ajaran universal
Aswaja. Setiap pemikiran, sikap dan relasi, harus selalu diselaraskan dengan
landasan ini. Pemaknaan keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan sosial.
Yaitu landasani kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi,
budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sejarah membuktikan bagaimana Nabi Muhammad
mampu mewujudkannya dalam masyarakat Madinah. Bagitu juga Umar bin Khattab yang
telah meletakkan fundamen bagi peradaban Islam yang agung.
Keempat
landasan tersebut dalam prosesnya harus berjalan bersamaan dan tidak boleh ada
dari satupun bingkai ini tertinggal. Karena jika yang satu tidak ada maka
Aswaja sebagai MAnhaj fikr akan pincang.
4.
Implementasi
Landasan Aswaja dalam konteks Gerakan
Aswaja sebagai manhaj
fikr dan manhaj taghayyur al-ijtima’ bisa kita tarik dari nilai-nilai perubahan
yang diusung oleh Nabi Muhammad dan para sahabat ketika merevolusi masyarakat
Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang tercerahkan oleh nilai-nilai keadilan
dan kemanusiaan universal. Ada dua hal pokok yang menjadi landasan perubahan
itu :
·
Basis epistemologi, yaitu cara berfikir
yang sesuai dengan kebenaran qur’ani dan sunnah nabi yang diimplementasikan
secara konsekwen dan penuh komitmen oleh para pemikir dalam historisitas
asawaja yang terbingkai dalam enam poin tersebut.
·
Basis realitas, yaitu Dialektika antara
konsep dan realita yang selalu terbuka untuk dikontekstualkan sesuai dinamika
perubahan dan lokalitas serta keberpihakan kepada kaum tertindas dan masyarakat
lapisan bawah.
Dua basis ini terus
menjadi nafas perubahan yang diusung oleh umat Islam yang konsisten dengan
aswaja, termasuk di dalamnya PMII. Konsistensi di sini hadir dalam bentuk élan
dinamis gerakan yang selalu terbuka untuk dikritik dan dikonstruk ulang, sesuai
dengan dinamika zaman dan lokalitas. Dia hadir tidak dengan klaim kebenaran
tunggal, tetapi selalu berdialektika dengan realitas, jauh dari sikap eksklusif
dan fanatik. Maka empat landasan yang dikandung oleh aswaja, untuk konteks
sekarang harus kita tafsirkan ulang sesuai dengan perkembangan teori-teori
sosial dan ideologi-ideologi dunia.
Tawassuth harus kita
maknai sebagai tidak mengikuti nalar kapitalisme-liberal di satu sisi dan nalar
sosialisme di sisi lain. Kita harus memiliki cara pandang yang otentik tentang
realitas yang selalu berinteraksi dalam tradisi. Pemaknaannya ada dalam
paradigma yang dipakai oleh PMII yaitu paradigma kritis transformatif.
Walaupun
dalam kerangka konseptual Aswaja menekan pandangan yang sangat moderat, itu
tidak bisa diartikan secara serampangan sebagai sikap sok bijak dan mencari
selamat serta cenderung oportunis. Tetap ada prinsip-prinsip dasar yang harus
dipegang dalam Aswaja.
Catatan
Akhir :
Berdasarkan uraian
diatas, kita dapat memahami bahwa Aswaja sebagia manhajul fikr dalam
Historisitasnya berusaha dengan sungguh-sungguh menyusun agenda metodologis
yang sesuai dengan perubahan zaman dengan mencoba menggabungkan dari berbagai
metodologi-ulama pada zaman sekarang dan sebelumnya. Dengan melacak akar
historisnya, karena sejarah adalah sistem yang membangun masa kini dan yang
akan datang.
Bahkan sampai sekarang,
metodologi tersebut belum ditemukan. Hal ini berbeda ketika Aswaja sebagai
manhaj mazhab, disini metolodogi sangat jelas yakni berdasarkan metodologi yang
disusun oleh para Imam Mazhab (Qonun Asasi) semisal kaidah uul fiqh dan
Qiyasnya Syafi;I, istihsanya maliki, masalaha mursalah, dll. Sedangkan
paradigmanya dan orientasinya adalah fiqh. Meski dalam perjalanannya dianggap
tidak relevan.
Maka menjadi tugas kita
bersamalah untuk membuat satu tawaran alternatif metodologi baru bagi ruh
perjuangan PMII yang mampu mengkombinasikan antara barat dan timur yang sesuai
dengan konteks Masyarakat Indonesia pada khusunya dan Umat muslim pada umumnya.
Yang pada gilirannya Para kader PMII khusunya di Jogjakarta tidak kebingungan
dalam hal metodologi baik dalam menafsirkan teks maupun membaca realitas dengan
komitmen sosial yang tinggi. Wallahu a’lam wi al-shawab.