Pada umumnya “Islam”
dimengerti sebagai sebuah institusi agama dengan sekian ritual keagamaan yang
dilakukan oleh para pemeluknya. Pengertian semacam ini, Islam sebagai sebuah
institusi agama (organized religion) sebagaimana yang difahami oleh banyak
orang, mengakibatkan makna Islam menjadi sangat eksklusif dan menutup ruang
bagi institusi agama lain untuk memproklamirkan kebenaran agamanya dan ikut
serta dalam kehidupan sosial-masyarakat. Bahkan bagi sebagian pemeluknya ada
anggapan bahwa seseorang yang berada di luar institusi agama tertentu dianggap
“musuh” dan “sesat”, karenanya harus diperangi dan diselamatkan.
Padahal kalau kita
melacak makna Islam yang terkandung dalam kitab suci Al Qur’an akan kita
dapatkan makna yang lebih universal dan membuka ruang bagi bertemunya
agama-agama (comment platform) serta kemungkinan dialog antar agama. Hal ini
penting untuk menyatukan visi kemanusiaan dan keadilan sebagai upaya
transformasi sosial.
Di dalam Al Qur’an
banyak dijumpai kata Islam yang menurut Djajaningrat berasal dari kata kerja
aslama “menyerahkan dengan tulus hati” atau “mengikhlaskan”. Dalam pengertian
ini kata Islam harus dibedakan antara Islam sebagai sikap jiwa seseorang dan
Islam sebagai nama sebuah agama. Surat Al Baqoroh : 112, Jinn: 14, Ali Imran:19
dan Al Maidah : 3 menegaskan arti tersebut.
Terkait dengan
pengertian Islam sebagai sikap jiwa seseorang, pemaknaan Islam yang lebih umum,
menurut kata generiknya adalah pasrah, tunduk kepada Tuhan, yaitu suatu
semangat ajaran yang menjadikan karakteristik pokok semua agama yang benar.
Dasar semacam inilah sebagaimana pandangan Al Qur’an bahwa semua agama yang
benar adalah agama Islam, dalam pengertian semuanya mengajarkan sikap pasrah
kepada Tuhan.
Kata yang dekat dengan
makna Islam adalah kata hanif yaitu condong atau cenderung. Islam dalam
pengertian hanif inilah yang dianut dan mempunyai tali persambungan dengan
ajaran nabi Ibrahim AS. Sedangkan Ibrahim sendiri tidak pernah mendakwahkan
dirinya sebagai seseorang yang memeluk agama formal baik Yahudi atau Nashrani.
Ibrahim adalah seorang nabi yang tunduk dan patuh kepada Tuhan karenanya dia
disebut ”ber-Islam”.
Dengan demikian sikap
pasrah dan tunduk adalah inti dari semua ajaran Tuhan yang disampaikan oleh
para Nabi. Hal ini menegaskan adanya titik temu agama-agama, meskipun nabi dan
masa mereka berbeda-beda. Sebab semua yang benar itu berasal dari sumber yang
sama dan semua para nabi membawa kebenaran ajaran yang sama. Perbedaan para
nabi hanyalah dalam bentuk responsi khusus tugas seorang rasul pada tuntutan
zamannya.
ISLAM
DAN TRANSFORMASI SOSIAL
Manusia sebagai hamba
Allah SWT, diciptakan dengan maksud untuk menjadi khalifah di muka bumi ini.
Penghambaan penuh atas nilai absolut Tuhan Yang Maha Esa juga atas ekosistem
dan alam jagat raya, selain itu manusia diwajibkan untuk melakukan komunikasi
dan bersosialisasi dengan sesamanya dalam rangka untuk saling
ingat-mengingatkan dalam kebaikan dan mencegah atas kemungkaran.
Tugas berat yang
diberikan untuk manusia tidak semata selesai di dunia saja, akan tetapi
orientasi yang lebih tinggi adalah bagaimana manusia bisa hidup bahagia di
akhirat kelak. Islam dalam konteks ini adalah sebagi penyelamat. Kepasrahan
secara total atas ke-Maha Esa-an Tuhan pencipta alam semesta menjadi hal yang mutlak.
Sebagai agama yang diturunkan untuk penyempurna atas agama-agama sebelumnya,
Islam diharapkan bisa menjadi rambu dan pedoman bagi umat manusia dalam menjaga
tatanan kehidupan di dunia ini sebagai bekal di akherat (al Islamu ya’lu wala
yu’la ‘alaih).
Keberadaan Islam pada
konteks masa Nabi Muhammad adalah sebagai seruan moral dalam memberantas kaum
jahiliyah yang tidak lagi memperdulikan nilai-nilai kemanusiaan. Perjuangan
besar agama Islam adalah menegakkan bagaimana agama Islam bukan hanya dimaknai
sebagai ritualitas penghambaan an sich. Tauhid sebagai bentuk kepercayaan penuh
atas Allah SWT baik dalam hati, lisan maupun tindakan. Tauhid selain itu
sebagaimana yang dipaparkan Hasan Hanafi bahwa tauhid bagi umat manusia ini
memiliki kesamaan status.
Kesamaan status inilah
yang seharusnya diperhatikan oleh umat manusia sehingga dalam realitas
kehidupan bermasyarakat tidak ada saling tindas menindas. Suprioritas dan
pengunggulan diri berarti sama dengan menolak kesamaan status sebagai hamba
Allah. Islam sebagai agama yang memiliki nilai dalam menata dan menjadi rambu
dalam umat manusia seharusnya tidak dijadikan landasan dalam melakukan
perubahan di dunia. Memaknai Islam lebih dari konsteks untuk menyelesaikan
sosial problem selain personal problem menjadikan nilai-nilai Islam sebagai
landasan dalam membangun kerukunan umat beragama, menyelesaikan
persoalan-persoalan kerakyatan, jadi Islam bukan semata untuk mengabdikan diri
kepada Tuhan dengan melalaikan persoalan masyarakat, selain itu umat Islam juga
seharusnya lebih memperhatikan kehancuran ekosistem (ekologi) sebagai implikasi
dari kekuatan kapitalisme dalam melakukan eksploitasi besar-besaran sumber daya
alam. Mengembalikan kembali nilai-nilai Islam dalam corak dialektika material.
Disamping itu membangun kembali sensitifitas sosial dengan lebih
mengaplikasikan nilai-nilai ketuhanan pada realitas nyata.
Dengan pemaparan
diatas, melihat konteks Islam di Indonesia, maka corak dan karakter Islam
Indonesia bukan Islam ala Arab, Pakistan dll. Islam sebagi agama rohmatan lil
‘alamin mengidealkan satu corak nilai Islam nusantara, sehingga antara
nilai-nilai budaya lokal dan ajaran Islam tidak terjadi saling sandra, namun
memberi warna tersendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar