NILAI-NILAI
DASAR PERGERAKAN
1.
Pengertian,
Kedudukan, dan Fungsi
a.
Pengertian
Nilai-nilai dasar
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah basis filosofis dari setiap
aktifitas berpikir, berucap dan bertindak, yang mencerminkan tujuan bersama
yang hendak dicapai. Nilai-nilai itu merupakan manifestasi pemahaman Aswaja
sebagai manhaj al-fikr dan manhaj al-taghayyur al-ijtima’i dalam proses
dialektika sejarah global dan ke-Indonesia-an.
b.
Kedudukan
Nilai-nilai Dasar PMII
berkedudukan sebagai :
·
Sumber ideal moral
·
Pusat argumentasi dan pengikat kebebasan
berpikir, berucap, dan bertindak.
c.
Fungsi
Nilai-nilai Dasar PMII
berfungsi sebagai kerangka ideologis yang pemaknaannya adalah :
·
Dialektika antara konsep dan realita
yang selalu terbuka untuk dikontekstualkan sesuai dinamika perubahan dan
lokalitas.
·
Pola pikir, pola sikap, pola hubungan,
dan pola integrasi dalam perspektif gerakan.
2.
Rumusan
Nilai-Nilai Dasar PMII
Mukaddimah
Tauhid (keyakinan
transendental) merupakan sumber nilai yang mencakup pola hubungan antara manusia
dengan Allah (hablun min Allah), hubungan manusia dengan sesama manusia (hablun
min al-nas), dan hubungan manusia dengan alam (hablun min al-‘alam). Pergerakan
meyakini dengan penuh sadar bahwa menyeimbangkan ketiga pola hubungan itu
merupakan totalitas keIslaman yang landasannya adalah wahyu Tuhan dalam
al-quran dan hadits Nabi. Dalam memahami dan mewujudkan keyakinan itu PMII
telah memilih Ahlussunnah wal jama’ah (aswaja) sebagai manhajul fikr dan manhaj
al-taghayyur al-ijtima’i.
Selain
itu sebagai bagian sah dari bangsa Indonesia, PMII menyadari bahwa Pancasila
adalah falsafah hidup bangsa, yang penghayatan dan pengamalannya seiring dengan
implementasi dari nilai-nilai aswaja: tawassuth, tasamuh, tawazun, dan ta’adul.
Karena itu, dengan menyadari watak intelektual dan kesadaran akan tanggung
jawab masa depan bersama, dan dengan memohon rahmat dan ridla Allah SWT., maka
disusunlah rumusan Nilai-nilai Dasar PMII sebagai berikut :
RUMUSAN
NILAI-NILAI DASAR PMII :
a.
Hablun min Allah (Hubungan manusia dengan
Allah)
Allah adalah pencipta
segala sesuatu. Dia mencipta manusia dalam sebaik-baik bentuk dan memberikan
kedudukan terhormat kepadanya di hadapan ciptaan-Nya yang lain. Kedudukan
seperti itu ditandai dengan pemberian daya cipta, rasa, dan karsa. Potensi
inilah yang memungkinkan manusia memerankan fungsi sebagai hamba (‘abd) dan
wakil Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil ardl).
Sebagai hamba, manusia
memiliki tugas utama mengabdi dan menyembah Tuhan (Q.S. al-Dzariat: 56),
mengesakan Tuhan dan hanya bergantung kepada-Nya, tidak menyekutukan dan
menyerupakannya dengan makhluk yang memiliki anak dan orang tua (Q.S.
al-Ikhlash: 1-4). Sebagai hamba manusia juga harus mengikhlaskan semua ibadah
dan amalnya hanya untuk Allah (Q.S. Shad: 82-83).
Sebagai khalifah,
manusia memiliki kewajiban untuk menjaga dan memakmurkan bumi bukan malah
merusaknya (Q.S. al-Baqarah: 30). Karena, kedudukan ini merupakan amanah Tuhan
yang hanya mampu dilakukan oleh manusia, sedang makhluk Tuhan yang lain tidak
mampu untuk mengembannya (Q.S. al-Ahzab: 72). Dan tingkat kemampuan manusia
mengemban amanah inilah yang kemudian menentukan derajatnya di mata Allah (Q.S.
al-An’am: 165).
Manusia baru dikatakan berhasil dalam hubunganya dengan Allah apabila kedua fungsi ini berjalan secara seimbang. Pemaknaan seimbang di sini bahwa keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan tidak cukup hanya dengan syahadat, shalat, zakat, puasa,dan haji, tetapi nilai-nilai ibadah itu harus mampu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, membangun peradaban umat manusia yang berkeadilan. Bahwa kita hidup di dunia ini bukan untuk mencari jalan keselamatan bagi diri kita saja, tetapi juga bagi orang lain terutama keluarga dan masyarakat sekitar kita.
Manusia baru dikatakan berhasil dalam hubunganya dengan Allah apabila kedua fungsi ini berjalan secara seimbang. Pemaknaan seimbang di sini bahwa keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan tidak cukup hanya dengan syahadat, shalat, zakat, puasa,dan haji, tetapi nilai-nilai ibadah itu harus mampu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, membangun peradaban umat manusia yang berkeadilan. Bahwa kita hidup di dunia ini bukan untuk mencari jalan keselamatan bagi diri kita saja, tetapi juga bagi orang lain terutama keluarga dan masyarakat sekitar kita.
b.
Hablun min al-Nas (Hubungan antar sesama
manusia)
Pada hakikatnya manusia
itu sama dan setara di hadapan Tuhan, tidak ada perbedaan dan keutamaan di
antara satu dengan lainnya. Begitu pula tidak dibenarkan adanya anggapan bahwa
laki-laki lebih mulia dari perempuan, karena yang membedakan hanya tingkat
ketaqwaan (Q.S. al-Hujurat: 13) keimanan, dan keilmuawannya (Q.S. al-Mujadalah:
11).
Manusia hidup di dunia
ini juga tidak sendirian tetapi dalam sebuah komunitas bernama masyarakat dan
negara. Dalam hidup yang demikian, kesadaran keimanan memegang peranan penting
untuk menentukan cara kita memandang hidup dan memberi makna padanya. Maka yang
diperlukan pertama kali adalah bagaimana kita membina kerukunan dengan sesama
Umat Islam (ukhuwah Islamiyyah) untuk membangun persaudaraan yang kekal hingga
hari akhir nanti (Q.S. al-Hujurat: 11).
Namun kita hidup dalam
sebuah negara yang plural dan beraneka ragam. Di Indonesia ini kita hidup
bersama umat Kristen, Hindu, Budha, aliran kepercayaan, dan kelompok keyakinan
lainnya. Belum lagi bahwa kita pun berbeda-beda suku, bahasa, adat istiadat,
dan ras. Maka juga diperlukan kesadaran kebangsaan yang mempersatukan kita
bersama dalam sebuah kesatuan cita-cita menuju kemanusiaan yang adil dan
beradab (ukhuwah wathaniyah). Keadilan inilah yang harus kita perjuangkan (Q.S.
al-Maidah: 8). Dan untuk mengatur itu semua dibutuhkan sistem pemerintahan yang
representatif dan mampu melaksanakan kehendak dan kepentingan rakyat dengan
jujur dan amanah. Pemimpin yang sesuai dengan nilai ini, peraturannya harus
kita taati selama tidak bertentangan dengan perintah agama (Q.S. al-Nisa: 5). Dan
untuk pelaksanaannya kita harus selalu menjunjung tinggi nilai musyawarah yang
merupakan elemen terpenting demokrasi (Q.S. Ali Imran: 199).
Namun itu saja belum
cukup. Kita hidup di dunia ini berdampingan dan selalu berhubungan dengan
negara-negara tetangga. Maka kita juga harus memperhatikan adanya nilai-nilai
humanisme universal (ukhuwah bAsy’ariyah), yang mengikat seluruh umat manusia
dalam satu ikatan kokoh bernama keadilan. Meskipun kita berbeda keyakinan dan
bangsa, tidak dibenarkan kita bertindak sewenang-wenang dan menyakiti sesama.
Biarkan mereka dengan keyakinan mereka selama mereka tidak mengganggu keyakinan
kita (Q.S. al-Kafirun: 1-6). Persaudaraan kekal inilah sebagai perwujudan dari
posisi manusia sebagai khalifah yang wajib memperjuangkan keadilan dan
kesejahteraan bumi manusia ini.
c.
Hablun min al-Alam (Hubungan manusia
dengan alam)
Manusia yang diberi
anugerah cipta, rasa, dan karsa, yang merupakan syarat sahnya sebagai khalifah
diberi wewenang dan hak untuk memanfaatkan alam bagi kebutuhan hidupnya. Namun
pemanfaatan ini tidak boleh berlebih-lebihan apalagi merusak ekosistem. Hak ini
dinamakan sebagai hak isti’mar, yaitu hak untuk mengolah sumber daya alam untuk
kemakmuran makhluk hidup tetapi pengelolaan itu harus didasarkan pada rasa
tanggung jawab: tanggung jawab kepada kemanusiaan, karena rusaknya alam akan
berakibat bencana dan malapetaka bagi kahidupan kita semua, begitu pula
tanggung jawab kepada Tuhan yang telah memberikan hak dan tanggung jawab itu.
(Q.S. Hud: 61).
Selain sebagai sarana
pemenuhan kebutuhan hidup, alam atau ekologi juga merupakan ayat Tuhan yang
harus dipahami sebagaimana kita memahami al-quran. Dari pemahaman itulah akan
terwujud keimanan yang mantap kepada Tuhan dan kemantapan diri sebagai manusia
yang harus menyebarkan c kedamaian di muka bumi. Dari pemahaman inilah akan
terbentuk suatu gambaran menyeluruh terhadap alam, bahwa Tuhan menciptakan alam
ini dengan maksud-maksud tertentu yang harus kita cari dan teliti. Pencarian
makna alam inilah yang melandasi setiap kegiatan penelitian ilmiah dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Maka tidak ada dikotomi dan pertentangan antara
ilmu daan wahyu, antara IPTEK dan agama, karena pada hakikatnya keduanya akan
mengantarkan kita kepada keyakinan akan keagungan Tuhan (Q.S. 190-191).
Tauhid
Maka dengan
menyeimbangkan ketiga pola hubungan di atas kita akan mencapai totalitas
penghambaan (tauhid) kepada Allah. Totalitas yang akan menjadi semangat dan ruh
bagi kita dalam mewarnai hidup ini, tidak semata-mata dengan pertimbangan
Ketuhanan belaka, tetapi dengan pertimbangan kemanusiaan dan kelestarian
lingkungan hidup. Bahwa tauhid yang kita maksudkan bukan sekadar teisme
transcendental an-sich, tetapi antrophomorfisme transendental, Nilai-nilai ketuhanan
yang bersatu dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ilmu pengetahuan. Totalitas
tauhid inilah yang akan memandu jalan kita dalam mencapai tujuan gerakan
membangun kehidupan manusia yang berkeadilan.
Khatimah
Rumusan Nilai-Nilai
Dasar PMII perlu selalu dikaji secara kritis, dipahami secara mendalam dan
dihayati secara teguh serta diwujudkan secara bijaksana. Dengan NDP ini hendak
diwujudkan pribadi muslim yang bertakwa-berilmu-beramal, yaitu pribadi yang
sadar akan kedudukan dan perannya sebagai intelektual muslim berhaluan
Ahlussunnah wal jama’ah di negara Indonesia yang maju, manusiawi, adil, penuh
rahmat dan berketuhanan serta merdeka sepenuhnya.
Rabbana
‘alaika tawakkalna wa ilaika anabna wa ilaika al-mashir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar