Apakah Paradigma itu ? Paradigma
pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun, seorang ahli fisika
teoritik, dalam bukunya “The Struktur Of Scientific Revolution”, yang
dipopulerkan oleh Robert Friederichs (The Sociologi Of Sociology;1970),
Lodhal dan Cardon (1972), Effrat (1972), dan Philips (1973). Sementara
Khun sendiri, seperti ditulis Ritzer (1980) tidak mendefinisikan secara jelas
pengertian paradigma. Bahkan menggunakan kata paradigma dalam 21 konteks yang
berbeda. Namun dari 21 pengertian tersebut oleh Masterman diklasifikasikan
dalam tiga pengertian paradigma :
1.
Paradigma metafisik,
yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat kajian ilmuwan.
2.
Paradigma Sosiologi,
yang
mengacu pada suatu kebiasaan sosial masyarakat atau penemuan teori yang
diterima secara umum.
3. Paradigma
Konstrak, sebagai
sesuatu yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup tertentu, misalnya
paradigma pembangunan, paradigma pergerakan dan lain-lain.
Masterman sendiri
merumuskan paradigma sebagai “pandangan mendasar dari suatu ilmu yang menjadi
pokok persoalan yang dipelajari (a fundamental image a dicipline has of
its subject matter).sedangkan George Ritzer mengartikan
paradigma sebagai apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti
dipelajari, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir
sosial dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut.
Maka, jika dirumuskan
secara sederhana sesungguhnya paradigma adalah “How to see the Word” semacam
kaca mata untuk melihat, memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas sosial.
Tafsir sosial ini kemudian menurunkan respon sosial yang memandu arahan
pergerakan. Apakah yang disebut Teori kritis ?Apa sebenarnya makna
“Kritis”?Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah Tajam/tegas
dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam.
Sehingga teori kritis
adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap
realitas. Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas
dari Madzhab Frankfurt. Dengan kata lain, teori kritis merupakan produk dari
institute penelitian sosial, Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh
kalangan neo-marxis Jerman. Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan
filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang
cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu
Sekolah Frankfurt – paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina –
paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans
Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno).
Perdebatan ini memacu
debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yang berhasil
mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori
Kritis. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus
cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule).
Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik
masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau
mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari
manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah
bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx,
tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan
beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara
baru dan kreatif.Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max
Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan
filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud),
Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus
sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan
fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi”
gerakan New Left di Amerika).
Pada intinya
madzhabFrankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu
bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan
akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic
strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras truktur (politik,
sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia). Kemudian
mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat dan berbagai sistem
pengetahuan. Teori kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada
struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan perhatian pada kebudayaan
masyarakat (culture society). Seluruh program teori kritis Madzhab
Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah manifesto yang ditulis di dalam Zeischrift tahun
1957 oleh Horkheimer.
Dalam artikel tentang
“Teori Tradisional dan teori Kritik” (Traditionelle und
KritischeTheorie) ini, konsep “Teori kritis” pertama kalinya muncul.
Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor
Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian
dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen
Habermas yang terkenal dengan teori komunikasinya.Diungkapkan Goerge
Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi
:§ Teori Marxian yang deterministic yang menumpukan semua
persoalan pada bidang ekonomi;§ Positivisme dalam Sosiologi
yang mencangkok metode sains eksak dalam wilayah sosial-humaniora katakanlah
kritik epistimologi;§ Teori- teori sosiologi yang kebanyakan
hanya memperpanjang status quo;§ Kritik terhadap masyarakat
modern yang terjebal pada irrasionalitas, nalar teknologis,nalar instrumental
yang gagal membebaskan manusia dari dominasi. Kritik kebudayaan yang
dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan.
Madzhab Frankfrut
mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal :
1.
Berpikir dalam
totalitas (dialektis);
2.
Berpikir
empiris-historis;
3.
Berpikir dalam
kesatuan teori dan praksis;
4. Berpikir dalam realitas yang tengah dan terus
bekerja (working reality).
Mereka mengembangkan
apa yang disebut dengan kritik ideology atau kritik dominasi. Sasaran kritik
ini bukan hanya pada struktur sosial namun juga pada ideologi dominan dalam
masyarakat. Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang
dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud :
1.
Kritik dalam
pengertian Kantian
Immanuel Kant melihat
teori kritis dari pengambilan suatu ilmu pengetahuan secara subyektif sehingga
akan membentuk paradigma segala sesuatu secara subyektif pula. Kant menumpukkan
analisisnya pada aras epistemologis; tradisi filsafat yang bergulat pada
persoalan “isi” pengetahuan. Untuk menemukan kebenaran, Kant mempertanyakan“condition
of possibility” bagi pengetahuan. Bisa juga disederhanakan bahwa
kitik Kant terhadap epistemologi tentang (kapasitas rasio dalam persoalan
pengetahuam) bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya
sendiri dan dapat menjadi ‘pengadilan tinggi’. Kritik ini bersifat
transendental. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai
kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka.
2.
Kritik dalam
pengertian Hegelian
Kritik
dalam makna Hegelian merupakan kritik terhadap pemikiran kritis Kantian.
Menurut Hegel, Kant berambisi membangun suatu “meta-teori” untuk menguji
validitas suatu teori. Menurut Hegel pengertian kritis merupakan refleksi-diri
dalam upaya menempuh pergulatan panjang menuju ruh absolute. Hegel merupakan
peletak dasar metode berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip
tri-angle-nya Spinoza Diktumnya yang terkenal adalah therational is
real, the real is rational. Sehingga, berbeda dengan Kant, Hegel
memandang teori kritis sebagai proses totalitas berfikir. Dengan
kata lain, kebenaran muncul atau kritisisme bisa tumbuh apabila terjadi
benturan dan pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada. Kritik dalam pengertian
Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang
menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia.
3.
Kritik dalam
pengertian Marxian
Menurut Marx, konsep
Hegel seperti orang berjalan dengan kepala. Ini adalah terbalik. Dialektika
Hegelian dipandang terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika
adalah pikiran. Ini kesalahan serius sebab yang berdialektika adalah
kekuatan-kekuatan material dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari
kekuatan material (modal produksi masyarakat). Sehingga teori kritisbagi Marx
sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan
oleh penguasa di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti
usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan
oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat.
4.
Kritik dalam
pengertian Freudian
Madzhab
frankfrut menerima Sigmun Freud karena analisis Freudian mampu memberikan basis
psikologis masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan
masyarakat. Freud memandang teori kritis dengan refleksi dan analisis
psikoanalisanya. Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena didorong
oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam
dirinya. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis
yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas
pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan
terhadap ortodoksi marxisme klasik.
Berdasarkan empat
pengertian kritis di atas, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar
kontemplasi pasif prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat
emansipatoris. Sedang teori yang emansipatoris harus memenuhi tiga syarat :
1.
Bersifat kritis dan curiga terhadap
segala sesuatu yang terjadi pada zamannya.
2.
Berfikir secara historis, artinya selalu
melihat proses perkembangan masyarakat.
3. Tidak
memisahkan teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata
untuk mendapatkan hasil yang obyektif.
Paradigma Kritis : Sebuah Sintesis Perkembangan Paradigma Sosial : William
Perdue,
menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis utama paradigma :
1.
Order
Paradigm (Paradigma
Keteraturan)
Inti dari paradigma
keteraturan adalah bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang
terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling
menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap
struktur sosial adalah fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan,
peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang wajar, sebab fungsional
terhadap masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme
fungsional. Secara eksternal paradigma ini dituduh a historis, konservatif,
pro-satus quo dan karenanya, anti-perubahan.
Paradigma ini
mengingkari hukum kekuasaan : setiap ada kekuasaan senantiasa ada
perlawanan.Untuk memahami pola pemikiran paradigma keteraturan dapat
dilihat skema berikut :
2.
Conflic
Paradigm (Paradigma Konflik)
Secara konseptual
paradigma Konflik menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan
bahwa setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung
kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak
perubahan- Perubahan tidak selalu gradual; namun juga
revolusioner- Dalam jangka panjang sistem sosial harus
mengalami konflik sosial dalam lingkar setan(vicious circle)tak berujung
pangkal Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi
paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap komunitas, tak
mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan.
3.
Plural
Paradigm (Paradigma plural)
Dari kontras/perbedaan
antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik tersebut melahirkan upaya
membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma plural. Paradigma plural
memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas
serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang
ada disekitarnya.
Ketiga paradigma di
atas merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru. Dari optic
pertumbuhan teori sosiologi telah lahir Paradigma kritis setelah
dilakukan elaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik.Paradigma
pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya
bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas
untuk menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam
paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi
satu kelompok pada kelompok yang lain.
Apabila disimpulkan
apa yang disebut dengan paradigma kritis adalah paradigma yang dalam melakukan
tafsir sosial atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada :
a.
Analisis struktural : membaca format
politik, format ekonomi dan politik hukum suatu masyarakat, untuk menelusuri
nalar dan mekanisme sosialnya untuk membongkar pola dan relasi sosial yang
hegeminik, dominatif, dan eksploitatif.
b.
Analisis ekonomi untuk menemukan
fariabel ekonomi politikbaik pada level nasional maupun internasional.
c.
Analisis kritis yang membongkar “the
dominant ideology” baik itu berakar pada agama, nilai-nilai adat, ilmu atau
filsafat. Membongkar logika dan mekanisme formasi suatu wacana resmi dan
pola-pola eksklusi antar wacana.
d.
Psikoanalisis yang akan membongkar
kesadaran palsu di masyarakat.
e.
Analisis kesejarahan yang menelusuri
dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, actor-aktor sejarah
baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu
masyarakat.
Kritis dan
Transformatif namun Paradigma kritis baru
menjawab pertanyaan struktur formasi sosial seperti apa yang sekarang sedang
bekerja. Ini baru sampai pada logika dan mekanisme working-sistem yang
menciptakan relasi tidak adil, hegemonik, dominatif, dan eksploitatif; namun
belum mampu memberikan prespektif tentang jawaban terhadap formasi sosial
tersebut; strategi mentransformasikannya; disinilah “Term Transformatif” melengkapi
teori kritis.
Dalam perspektif Transformatif dianut
epistimologi perubahan non-esensialis. Perubahan yang tidak hanya menumpukan
pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah;
entah kaum miskin kota (KMK), buruh atau petani, tapi perubahan yang
serentak yang dilakukan secara bersama-sama. Disisi lain makna
tranformatif harus mampu mentranformasikan gagasan dan gerakan sampai pada
wilayah tindakan praksis ke masyarakat.
Model-model
transformasi yang bisa dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain :
1.
Transformasi
dari Elitisme ke Populisme
Dalam model tranformasi
ini digunakan model pendekatan, bahwa mahasiswa dalam melakukan gerakan sosial
harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal isu advokasi
buruh, advokasi petani, pendampingan terhadap masyarakat yang digusur akibat
adanya proyek pemerintah yang sering berselingkuh dengan kekuatan pasar (kaum
kapitalis) dengan pembuatan mal-mal, yang kesemuanya itu menyentuh akan
kebutuhan rakyat secara riil. Fenomena yang terjadi masih banyak mahasiswa yang
lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan jauh dari apa yang dikehendaki
oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis. Oleh karena itu,
kita sebagai kaum intelektual terdidik, jangan sampai tercerabut dari akar
sejarah kita sendiri. Karakter gerakan mahasiswa saat ini haruslah lebih
condong pada gerakan yang bersifat horisontal.
2.
Transformasi
dari Negara ke Masyarakat
Model tranformasi kedua
adalah transformasi dari Negara ke masyarakat. Kalau kemudian kita lacak basis
teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap G.W.F. Hegel.
Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute yang harus ditaati
kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya. Disamping itu,
Hegel mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya wadah yang paling efektif
untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam satu bangsa.
Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa justru masyarakatlah yang
mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna
transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat
bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi
disetiap bangsa atau Negara.
3.
Transformasi
dari Struktur ke Kultur
Bentuk transformasi
ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal ini akan bisa
terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupa kebijakan-kebijakan ini
tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang dilakukan pada masa orde
baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat desentralistik. Jadi,
aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam
mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling mengerti akan
kebutuhan, dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya benturan
sosial di lapangan.
4.
Transformasi
dari Individu ke Massa
Model transformasi
selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam disiplin
ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang sangat
membutukan kehadiran mahluk yang lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini sebenarnya
sudah dicita-citakan oleh para foundhing fathers kita tentang
adanya hidup bergotong royong. Rasa egoisme dan individualisme haruslah dibuang
jaung-jauh dari sifat manusia.
Salah satu jargon yang
pernah dikatakan oleh Tan Malaka (Sang Nasionalis Kiri), adalah adanya
aksi massa. Hal ini tentunya setiap perubahan meniscayakan adanya power atau
kekuatan rakyat dalam menyatukan program perjuangan menuju perubahan sosial
dalam bidang apapun (ipoleksosbudhankam). Paradigma
Kritis Transformatif (PKT ) yang diterapkan di PMII ? Dari paparan
diatas, terlihat bahwa PKT sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia,
dengan demikian dia adalah sekuler. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis,
karena akan mendapat tuduhan sekuler jika pola pikir tersebut diberlakukan.
Untuk menghindari dari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi
penerapan PKT dalam tubuh warga pergerakan.
Dalam hal ini,
paradigma kritis diberlakukan hanya sebagai kerangka berpikir dan metode
analisis dalam memandang persoalan. Dengan sendirinya dia tidak
dilepaskan dari ketentuan ajaran agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan
dan memfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya. PKT berupaya
menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk
dominasi dan penindasan, membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik
dan hegemonik. Semua ini adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam
Islam. Oleh karenanya pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai
titik pijak penerapan PKT di kalangan warga PMII. Contoh yang paling
kongkrit dalam hal ini bisa ditunjuk pola pemikiran yang menggunakan paradigma
kritis dari beberapa intelektual islam, diantaranya Hassan Hanafi dan
Arkoun.
MENGAPA PMII MEMILIH PARADIGMA KRITIS
TRANSFORMATIF ?
“Berpikir Kritis & Bertindak Tansformatif” itulah Jargon PMII dalam setiap membaca tafsir
sosial yang sedang terjadi dalam konteks apapun. Dan ada beberapa alasan yang
menyebabkan PMII harus memiliki Paradigma Kritis Transformatif sebagai dasar
untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam
melakukan analisa terhadap realitas sosial.
Alasan-alasan tersebut adalah :
1.
Masyarakat Indonesia saat ini
sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern, dimana kesadaran
masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu
budaya massa kapitalisme dan pola berpikir positivistik modernisme.
2.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat
majemuk/plural, beragam, baik secara etnis, tradisi, kultur maupun kepercayaan
(adanya pluralitas society).
3.
Pemerintahan yang menggunakan sistem
yang represif dan otoriter dengan pola yang hegemonik (sistem pemerintahan
menggunakan paradigma keteraturan yang anti perubahan dan pro status
quo).
4. Kuatnya
belenggu dogmatisme agama, akibatnya agama menjadi kering dan beku, bahkan
tidak jarang agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan
nilai kemanusiaan.
Beberapa alasan
mengenai mengapa PMII memilih Paradigma Kritis Tansformatif untuk dijadikan
pisau analisis dalam menafsirkan realitas sosial. Karena pada hakekatnya dengan
analisis PKT mengidealkan sebuah bentuk perubahan dari semua level dimensi
kehidupan masyarakat (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan
dll) secara bersama-sama. Hal ini juga tercermin dalam imagened
community (komunitas imajiner). PMII yang mengidealkan orientasi
out-put kader PMII yang diantaranya adalah :
Intelektual Organik,
Agamawan Kritis, Profesional Lobbiyer, Ekonom Cerdas, Budayawan Kritis,
Politisi Tangguh, dan Praktisi Pendidikan yang Transformatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar